Berbagai macam murid pernah kutemui selama Rumah Belajar BEM UI (sudah pernah kuceritakan ya tentang tempatku mengajar ini disini). Beberapa dari mereka mempunyai kisah yang menyentuh hati, salah satunya muridku yang bernama Maria Ensi Lake yang duduk di kelas Paket B. Maria Ensi Lake, atau yang biasa dipanggil Ensi, berasal dari Kafemenanu, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pertama kali aku melihat dirinya, aku sudah tertarik dengan raut wajahnya yang tegas dan keras, khas orang Timur. Rambutnya keriting dan panjang, tubuhnya kurus, dibalut blus yang seadanya dengan kalung salib melingkar di dadanya. Anehnya, matanya selalu berkabut dan senyumnya tak pernah sempurna, tak seperti adiknya, Anastasia Lake atau yang biasa dipanggil Ai yang pembawaannya cukup ceria. Ensi dan Ai, dua kakak beradik itu bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) di sini, merantau jauh dari rumah mereka di Kafemenanu. Namun mereka berbeda majikan. Majikan Ensi bersaudara dengan majikan Ai, tetapi keduanya sangat bertolak belakang.
Sejak awal, aku sudah tahu majikan Ensi itu galak, sehingga Ensi pernah mengutarakan keberatannya padaku jika harus belajar di Rumbel sampai sore. Majikannya agak tak senang dengan hal itu. Ensi pun sering pamit pulang tiba-tiba karena dipanggil majikannya. Aku berusaha memahami hal itu dengan memberikan kelonggaran jam belajar bagi Ensi. Ensi bukanlah murid yang bodoh, namun bukan juga murid yang pintar dan cepat menangkap pelajaran. Beberapa kali ia kesulitan mengejar ketertinggalannya dalam belajar. Tapi gadis itu, seperti kebanyakan teman-temannya yang lain, adalah pribadi yang mau berusaha, dan aku sangat bersyukur memiliki murid-murid seperti mereka. Sekali, aku pernah bertanya pada Ensi apakah majikannya pernah memukulnya atau melakukan kekerasan fisik, Ensi menggeleng. Sampai situ aku tak berpikiran lebih jauh, karena memang Ensi sepertinya belum terlalu membuka dirinya padaku.
Hingga di suatu pagi di akhir November, ketika aku dan Hery sedang berduet memberi materi sistem linear di kelas Paket C, seorang ibu-ibu dengan wajah yang kesal mendatangi Rumbel. Ibu tersebut mengetuk-ngetuk pintu kaca, memanggil-manggil Ensi dengan memaksa. Aku sebagai wali kelas Paket B dan C, merasa perlu untuk menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. Rupanya ibu tersebut adalah majikan Ensi. Majikannya itu memarahinya dan memaksanya pulang. Dengan bercucuran air mata, Ensi pun mengemas alat tulis dan tasnya. Aku tahu aku tidak dapat berbuat banyak, bahkan mungkin tak dapat berbuat apa-apa. Namun aku perlu tahu apa yang terjadi.
“Ensi itu malas. Susah sekali disuruh. Tadi pagi dia belajar kesini tidak pamit pada saya. Saya membawa dia kesini kan bukan untuk belajar seperti ini. Dia datang kesini untuk bekerja”tandas Ibu itu dengan berapi-api.
Aku menelan kata-kata itu seperti butiran pil pahit. Ya, rata-rata muridku memang bekerja sebagai PRT, mungkin belajar di Rumbel ini tidak dapat menjanjikan sesuatu yang lebih bagi mereka selain mengisi waktu luang dan otak mereka. Akan tetapi, aku selalu percaya pendidikan akan menjadikan manusia lebih layak. Beberapa menit setelah Ensi dan majikannya pergi, kudapati diriku berdiri bersama Hery di tangga Rumbel. Aku dan Hery terdiam tak tahu herus bersikap bagaimana. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menahan tangis, berusaha menata perasaanku agar bisa melanjutkan mengajar lagi.
Fakta-fakta yang kemudian kudapatkan dari Ai, adik Ensi dan teman-temannya di kelas Paket B, Siti dan Rifa, semakin tidak mengenakkan bagiku. Majikan Ensi memang galak, ia mempunyai banyak anak yang luar biasa nakal dan kurang ajar pada Ensi. Caci maki adalah makanan sehari-hari Ensi. Yang tambah menyedihkan, Ensi belum pernah mendapatkan sepeser pun gajinya. Ia dikontrak dua tahun, dan uang gajinya baru diberikan ketika ia akan pulang ke Kafemenanu. Itulah sebabnya Ensi tidak mau berhenti atau berganti pekerjaan. Ia masih mengharapkan upah kerja kerasnya dibayarkan.
Di pertemuan selanjutnya, Ensi tidak masuk. Sabtu itu, aku menyesal karena terlampau sibuk mengajar dan membereskan berbagai hal di Rumbel sehingga perhatianku teralihkan dari masalah Ensi. Senin pagi, tatkala aku sedang mengerjakan tugas di perpustakaan kampus, sebuah SMS masuk dari Ensi. Sebuah SMS yang membuatku tak dapat berkata apa-apa untuk sesaat. Ensi memutuskan untuk pulang ke rumahnya, ia tak tahan lagi dengan perlakuan kasar yang dilakukan majikannya. Dan ia pun memutuskan untuk tak lagi belajar di Rumbel. Ia kini sudah berada di Kafemenanu.
Semingguan itu aku berusaha untuk menghubungi Ensi, namun sepertinya tempat tinggalnya tak terjangkau sinyal. Satu-satunya informasi kudapatkan dari Ai yang masih belajar di Rumbel. Kakaknya memang sudah pulang, dan tak tahu apakah bisa lanjut belajar di Rumbel lagi dan mengikuti UN Kesetaraan. Ensi pulang dengan hanya dibayar separuh dari gaji yang harus ia terima selama ini. Malamnya, akhirnya aku mendengar suara Ensi dari telepon. Suara Ensi terdengar menyedihkan di telingaku.
“Kak, Ensi mau belajar lagi..boleh? Ensi mungkin akan kembali kesana bulan Januari tahun depan. Ensi mau cari pekerjaan baru”
Betapa aku bersuka cita mendengarnya! Saat itu aku berjanji pada Ensi untuk mengiriminya materi pelajaran lewat pos selama ia tidak disini. Kuminta Ensi mengirimkan alamat lengkapnya. Janji yang akhirnya kuingkari sendiri.
Kesibukan demi kesibukan menggerusku. Desember adalah bulannya UAS di kampusku, juga masa-masanya organisasi-organisasi kampus menjalani suksesi dan regenerasi kepengurusan. Di tengah sesaknya itu semua, aku harus mengadapi kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah, yaitu penambahan mata pelajaran PKn dan IPS untuk UN Kesetaraan Paket B dan PKn untuk UN Kesetaraan Paket C. Seluruh sistem pengajaran terpaksa kurombak lagi, kuatur lagi strategi agar semua materi dapat tersampaikan dengan baik. Sementara itu, Hery terus menghubungi pihak Sekolah Master untuk kejelasan UN Kesetaraan bagi murid-muridku. Sulit sekali menyempatkan diri menulis surat untuk Ensi.
Tahun 2013 berakhir. Tahun 2014 datang.
Setelah lama masalah Ensi luput dari perhatianku, di hari Sabtu pertama di tahun 2014, ketika kelas Paket sudah mulai belajar lagi, Ai mengabariku bahwa Sabu depan Ensi sudah kembali ke Depok, dan akan belajar lagi di Rumbel. Oh, Ensi…maafkan aku! Maafkan aku yang selama ini mengabaikanmu. Malamny, saat aku dan beberapa teman Rumbel sedang bersantai di foodcourt Depok Town Square, Ensi meneleponku, namun aku tak mendengar. Dua panggilan tak terjawab dari Ensi. Sontak, aku langsung meminta tolong Hery meng-SMS Ensi untuk menelponku lagi karena aku sedang tak ada pulsa. Aku tak ingin kehilangan Ensi lagi.
“Kak, boleh kan saya belajar lagi di Rumbel?”pintanya.
Ya, Ensi. Kapanpun. Pintu kelas Paket selalu terbuka untukmu.
Bagus tulisannya,
Apa sudah jelas ujian kesetaraannya mba?
Semoga ensi lulus..
Amin
Alhamdulillah sudah jelas.utk Paket B bulan Mei,utk paket C bulan April. Aamin 🙂
Semangatt buat anak2 ajar nya dan guru nya,
Semoga lulus ya 🙂
Menyentuh hati orang yang berjiwa mendidik, guru, dan peduli sosial..
Semoga Ensi mampu menghadapi kehidupan..
Aaah Mr.Subali 🙂 Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya 🙂
Ya,mudah mudahan ke depannya Ensi bisa terus sekolah selama yang ia inginkan:)
Semoga Ensi bisa belajar dengan baik. Gak tau lagi mau ngomong apa
Semoga 🙂
Ya Allah saya yang cuma baca ceritanya aja sedih, apalagi mba yang ngalami sendiri. saya heran sama yang bikin kontrak kerja itu, apa jaminan nya setelah 2 tahun dia bisa bayar (>____<) where's her right
loh ternyata komentar saya otomatis jadi pendek (>__<)
Salam untuk ensi ya kak 🙂