Everybody likes success story, but remember, there is no overnight success.
Saya bergabung dengan Upwork bulan Juli 2019, saat itu saya masih bekerja sebagai analyst di sebuah perusahaan logistik. Dua atau tiga bulan sebelumnya saya sibuk searching pekerjaan apa yang bisa dilakukan secara freelance agar saya bisa meluangkan waktu lebih banyak bersama anak saya kelak. Waktu itu saya belum hamil, lho, tapi sudah kepikiran sampai sana. Hahaha.
Saya sempat mencoba ikut seleksi menjadi guru les di Ruangguru (dulu semasa kuliah saya pernah jadi guru les) tapi gagal, gabung Freelancer.com dan Peopleperhour tapi kok ya nggak ‘sreg’ kayak banyak scammer gitu, sempat join Fiverr tapi merasa nggak suka dengan sistem kerjanya yang agak pasif menunggu orang untuk membeli jasa kita. Hingga akhirnya entah bagaimana saya menemukan blog Mbak Indrias Wahyuni (indriariadna.com) yang bercerita tentang pengalamannya bekerja freelance di Upwork. Saya pun tertarik dan mulai mencoba.
Baca juga Cara Menghasilkan Dollar Secara Online di Upwork
Ternyata untuk bergabung di Upwork tidaklah mudah. Dua kali profil saya tidak diterima, sampai akhirnya ketiga kali baru diterima. Butuh waktu sekitar sebulan bagi saya untuk bisa ‘pecah telor’ di Upwork. Kelihatannya cepat? Nggak juga. Karena dalam sebulan itu sudah puluhan proposal saya tulis. Saya sempat berpikir mau menyerah saja, sampai saya menonton film La La Land (2016) yang baru saya tonton pertama kali saat itu. Karakter Mia yang diperankan Emma Stone, aktris favorit saya, yang nggak menyerah ikut casting berkali-kali demi menjadi aktris profesional begitu menginspirasi saya.
Waktu itu kebijakan Upwork memberikan free 20 Connects setiap bulan bagi Freelancer Basic Plan alias member tidak berbayar. Ternyata 20 Connects habis sekejap tanpa hasil, dan saya masih ‘penasaran’, maka saya pun membeli bundling 80 Connects. Alhamdulillah setelah sekian puluh proposal (saya lupa persisnya berapa tetapi di atas 50), ada juga yang akhirnya hire saya dengan kontrak pertama saya senilai $5 yang pekerjaannya saya bisa selesaikan dalam waktu 15 menit saja. Wih, rasanya senang banget.
Nggak sampai seminggu, kontrak berikutnya ada lagi. Masih receh, $5 dan diberi bonus $2. Rasanya hepiii banget walau cuma diberi bonus $2 hahaha. Tetapi di awal karier (cieee) saya di Upwork, saya sempat mengalami zonk juga dimana pekerjaan yang memakan waktu sampai dua minggu, saya hanya mendapat $10. Salah saya juga sih kenapa nge-bid terlalu murah.
Tapi yasudahlah, berkat kontrak tersebut, saya jadi punya portfolio kerja yang membuat saya memenangkan kontrak berikutnya yang lebih besar dari seorang client asal Mesir bernama Raheel senilai $200. Raheel sangat puas dengan hasil kerja saya dan meng-hire saya lagi di kontrak berikutnya senilai $13 per jam. Inilah kali pertama saya mengerjakan hourly contract. Kerjasama dengan Raheel adalah batu loncatan besar bagi saya, karena reputasi saya di Upwork jadi terdongkrak dan kontrak-kontrak berikutnya yang datang pada saya tidak lagi ‘recehan’. Di bawah ini grafik penghasilan saya (dalam dollar) di tahun pertama main Upwork yang berubah signifikan setelah kontrak dengan Raheel di bulan Agustus 2019.

Gak lama kemudian di akhir September karena saya sudah mencapai $1000 dan mempertahankan feedback positif selama 16 minggu berturut-turut, saya mendapat badge ‘Top Rated’ yang terbukti ampuh memoles reputasi saya dan memberikan peluang lebih besar untuk mendapat job di Upwork.
Ini….saat saya masih bekerja kantoran lho, lagi hamil pula. Hehehe. Ngatur waktunya gimana? Waaaah cukup hectic. Saya mengerjakan job Upwork di weekend, saat senggang, malam hari sepulang kerja, atau di kantor pas lagi gabut. Target saya waktu itu, saya pingin resign setelah cuti melahirkan. Sebelum itu, saya ingin memperbagus reputasi saya di Upwork. Kenapa nunggu selama itu? Yaaa lumayan banget kan’ cuti 3 bulan tetap digaji. Lagipula selama hamil saya terbantu banget dengan medical benefit dari kantor untuk USG tiap bulan, dan tentunya nunggu tunjangan melahirkan juga. Hehehe.
Singkat cerita, alhamdulillah saya melahirkan dengan lancar di bulan Februari 2020. Karena saya dan suami masih tinggal di rumah orang tua saya, kami pun merasa terbantu banget untuk merawat bayi. Tiga minggu setelah melahirkan, saya lanjut kerja Upwork lagi sambil menyusui dan momong bayi tentunya.
Di bulan Maret, pandemi pun tiba di Indonesia. Alhamdulillah pekerjaan saya dan suami di kantor tidak terdampak WFH, begitu juga pekerjaan saya di Upwork. Meski teman-teman sesama freelancer di Upwork banyak yang mengeluh kontrak terhenti karena bisnis client terdampak pandemi, saya tidak merasakannya. Karena status saya cuti, otomatis nggak ada kerjaan kantor dong. Saya pun jadi fokus banget tuh kerja Upwork. Dan ternyata penghasilan juga jadi lebih besar ketika fokus.

Dari grafik di atas, penghasilan saya di bulan Maret melonjak tajam setelah di Februari sempat libur 3 minggu setelah lahiran. Mungkin rezeki-nya anak ya 😊
Tak terasa, cuti melahirkan saya habis. Karena pandemi, ‘berdiam di rumah’ pun masih berlanjut hingga akhir Juni. Bulan Juli saya kembali masuk kantor dengan jadwal selang-seling. Nah, disini saya mulai merasa kewalahan sekaligus bimbang. Kewalahan, karena pekerjaan kantor banyak yang ter-pending selama saya cuti dan akhirnya menumpuk untuk diselesaikan. Bimbang, karena saya jadi merasa insecure untuk resign. Banyak banget berita PHK dimana-mana, teman-teman yang saya kenal juga banyak yang mengalaminya, juga ekonomi negeri ini yang dirundung resesi sampai akhir tahun. Perusahaan tempat saya bekerja bergerak di bidang logistik, yang bisnisnya justru mengalami kenaikan selama pandemi karena melonjaknya belanja online. Saya jadi merasa…kalau saya resign, apa jadinya saya tidak bersyukur ya dengan posisi saya di kantor sekarang? Dan apa nantinya akan selalu lancar dapat job di Upwork? Bagaimana kalau saya menyesali keputusan saya?
Di bulan Juli itu, saya dan suami memutuskan untuk membeli rumah dengan cara cash bertahap tanpa riba. Tidak dipungkiri, hasil bekerja di Upwork sangat membantu tabungan kami untuk membayar down payment(DP) rumah sekitar 60% dari harga total. Skema cash bertahap mengharuskan kami melunasi sisanya dalam tempo 6 bulan atau pada Desember 2020. Dengan adanya pembelian rumah ini, akhirnya saya memutuskan untuk memundurkan resign sampai Desember atau setidaknya sampai rumah lunas. Oya, jangan bayangkan rumah kami itu ‘mewah’ ya. Rumah kami terletak di Kab. Bogor, minggir sedikit dari Pemda Cibinong, namun masih strategis karena dekat stasiun. Jadi harganya tentu tidak semahal rumah yang ada di Jakarta. Jangankan Jakarta, Depok saja pun sudah di luar kemampuan kami. Hehehe. Namun begini pun kami sudah sangat bersyukur 😊
Bulan Agustus, kami pun pindahan rumah. Karena sudah tidak dibantu orang tua, saya cukup kerepotan dalam membagi waktu antara mengurus rumah, anak dan bekerja. Di hari saya ngantor, saya harus ke rumah orang tua dulu untuk menitipkan anak (jaraknya hanya 15 menit naik motor dari rumah saya). Lalu di hari saya nggak ngantor, saya di rumah bersama anak dengan double job: pekerjaan kantor dan Upwork. Membuat saya cukup stress dan kelelahan. Apalagi suami sudah tidak lagi WFH dan sering dinas. Pikiran ingin resign terus-menerus menghantui. Hahaha.
Di awal September, bonus kantor alhamdulillah keluar, bersamaan dengan penilaian kinerja. Di sinilah kegalauan kembali terjadi, ketika sesi one on one atau penilaian empat mata, atasan saya mengapresiasi performance saya (yang membuat saya heran karena kayaknya saya selama ini banyak nggak fokus kerja hahaha), dan menjanjikan untuk menaikkan jabatan saya ke Assistant Manager di bulan Juli tahun depan (saat itu level saya sebagai Supervisor). Hwaaaah, ini mau resign kok ada saja yaaa yang bikin galauuu??? Padahal dari awal niat saya sudah bulet let let ingin fokus Upwork agar lebih banyak meluangkan waktu bersama anak T.T
Namun setelah istikharah, diskusi dengan suami, minta pendapat teman-teman di grup Upworker Indonesia, saya pun akhirnya memilih untuk kembali ke niat awal saya itu. Terlebih lagi ternyata kami bisa melunasi rumah di akhir Oktober, lebih cepat 2 bulan dari perkiraan. Masya Allah…target kami untuk 10 tahun pertama pernikahan ternyata bisa terealisasi saat belum mencapai 2 kali anniversary.
Saya rasa sudah nggak ada lagi halangan bagi saya untuk resign. Mengenai promosi kerja, hmm…mau sampai kapan saya kejar karier terus di kantor? Pulang malam, kehilangan banyak waktu bersama anak, sedangkan Allah sudah memberi saya jalan untuk bekerja dari rumah dengan hasil yang setara dengan kerja kantoran dan lebih banyak waktu bersama anak. Saya beruntung, masih ada suami yang menjadi tulang punggung utama. Sungguh sangat dangkal jika saya mengkhawatirkan kepastian rezeki dari kerja freelance. Tidak semua orang punya gaji, tapi setiap orang pasti punya rezeki. Allah sudah jamin rezeki saya, mengapa saya harus merasa insecure?
Akhirnya 3 minggu setelah bonus keluar, saya pun memberanikan diri untuk mengajukan resign. Atasan saya cukup kaget, tapi akhirnya menerima alasan saya. Pertengahan November setelah melalui one month notice, saya pun resmi berhenti menjadi karyawan kantoran setelah 5 tahun bekerja (hampir 3 tahun di perusahaan terakhir).
Kini hari-hari saya sebagai ibu rumah tangga yang kerja di rumah terasa menyenangkan (walau tentu ada saat-saat merepotkan ya). Sekarang saya bisa memandikan anak pagi dan sore, jalan-jalan sore membawanya keliling komplek dengan sepeda, merawat tanaman, bercanda dan mendongeng sebelum tidur, pekerjaan rumah pun beres. Bandingkan dengan kerja kantoran di mana saya berangkat jam 8 pagi dan baru pulang sampai rumah jam 7 malam dalam keadaan capek setelah kerja seharian dan berdesakan di commuter line. Bukan saya menyesal pernah kerja kantoran ya, sebaliknya saya bersyukur pernah melaluinya karena pengalaman kerja di kantor lah yang membentuk keahlian saya untuk ditawarkan di Upwork.
Di sisi lain, pendapatan saya di Upwork sebenarnya tidak fantastis, jika dirata-ratakan misal $1000 net per bulan atau sekitar 14 juta rupiah, banyak karyawan level Supervisor atau Junior Manager bergaji segituan di Jakarta. Saya tidak lagi mendapat THR, medical benefit, bonus tahunan, tunjangan ini itu, dan sekali lagi, penghasilan di Upwork tidak selalu tetap bukan? Namun banyaknya waktu bersama keluarga lah yang membuat ini terasa worth it.
Kerja di Upwork juga tidak selalu menyenangkan. Ada saatnya dua sampai tiga minggu saya sepi job, interview sana-sini tapi ternyata nggak lolos, menghadapi client rese atau bawel bolak-balik minta revisi, juga begitu banyak weekend yang tersita dengan pekerjaan, stress karena kewalahan membagi waktu hingga kecapekan dan sakit karena kurang istirahat. Namun bagian kerja overtime dan capek itu sudah saya tinggalkan sekarang, karena selalu saya ingatkan diri saya: kewajiban saya adalah merawat anak sebaik-baiknya. Saya ingin menebus banyak waktu berkualitas yang hilang bersamanya dulu, mumpung anak saya masih bayi, sebelum semuanya terlambat. Kerja freelance juga bukan berarti bisa berleha-leha. Saya tidak pernah tidur siang, tidak memiliki jam kerja sesuka saya, juga nggak pernah kerja buka laptop di café seperti bayangan orang-orang tentang kerja freelance. Sebaliknya, saya harus tetap menjaga fokus kerja walau diselingi rengekan anak, memenuhi berbagai kebutuhannya, mencuci, nyapu, ngepel, memasak atau memanaskan makanan, sikat kamar mandi dan sebagainya.
Di atas adalah gambaran kerja di Upwork untuk seorang ibu rumah tangga, ya. Mungkin bisa berbeda kondisinya jika masih single. Namun secara umum, di bawah ini adalah tips yang bisa diterapkan dalam mendulang rezeki di Upwork:
- Rutinkan sedekah. Nggak harus dalam jumlah banyak, asalkan rutin, terutama ke orang tua sendiri dan mertua jika sudah menikah.
- Banyak berdoa. Beneran deh, kerja freelance itu bisa mempertebal keyakinan kita bahwa ‘rezeki itu nggak kemana, Allah sudah jamin dan nggak akan tertukar’. Saat lagi sepi job, doa dan ibadah pun makin getol. Hehehe.
- Jika memang ingin resign dari kantor, sebaiknya tunggu sampai 6 bulan dulu. Perbagus reputasi, pantau rata-rata grafik penghasilan kita apakah sudah bisa hampir menyamai atau mungkin melebihi gaji di kantor, serta menabung untuk ‘jaga-jaga’ setelah resign. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi, baru deh resign. Jadi nggak grasa-grusu untuk resign dan malah menyesal di ujungnya.
- Bersihkan diri dari hutang dan cicilan. Kita semua tahu ketika pandemi, banyak orang yang keuangannya serasa ‘diterjang badai’ karena pemotongan gaji. Bahkan yang bergaji besar pun sulit bertahan, karena punya banyak cicilan. Nah, dari sini kita belajar: yang punya gaji tetap saja masih ada kemungkinan failed bayar cicilan. Apalagi yang gajinya nggak tetap seperti freelancer? Hehehe. Makanya menurut saya kalau ingin berkarier sebagai freelancer, jauhi deh segala bentuk cicilan.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah semangat teman-teman 😊
One thought on “Pengalaman Bekerja di Upwork dan Menghasilkan $10,000+ dalam Setahun”