Setengah Tahun Menjadi Full Time Freelancer Momma

Freelance Mom: Top 15 Websites for Work From Home Jobs
Gambar ini terlalu ‘halu’ bukan? Sumber gambar disini

Don’t be settled, even at the end of the world”  (Love & Monsters, 2020)

Tak terasa, sudah hampir setengah tahun saya resign kerja kantoran dan memutuskan menjadi full time freelancer sekaligus full time mom (Emang ada part time mom? Hehehe) di rumah. Well, I have mixed feeling about this.

Baca juga Pengalaman Bekerja di Upwork dan Menghasilkan $10,000+ dalam Setahun

As a disclaimer, saya adalah ibu dari seorang putri berusia 14 bulan. Jadi kebayang ya betapa masih bergantungnya anak saya terhadap mommynya ini. Pada awal November, saya masih menggunakan jasa day care untuk membantu saya menjaga anak selama saya bekerja freelance dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Biasanya dari jam 8 pagi sampai jam 3 siang. Kenapa day care? Karena saya malas aja menghadapi drama 

ART/baby sitter yang banyak dialami buibu di luar sana. Apalagi saya tumbuh di keluarga yang nggak pernah pakai ART, jadi kayak berasa awkward aja gitu ada orang asing di rumah.

Everything ran safe and sound…at the beginning. Saya mengantar jemput anak ke day care yang jaraknya hanya 1 km dari rumah. Saya merasa terbantu banget karena bisa kerja 4-5 jam di rumah, masak plus bebenah. Lalu setelah anak pulang saya bisa total fokus momong dan main sama anak sampai ia terlelap. Anak juga kelihatannya hepi main di day care, bahkan jadi bisa ngoceh banyak karena melihat anak-anak di sekitarnya.

Namun, manusia hanya bisa berencana dan berusaha. Apapun bisa terjadi jika Tuhan menghendaki, bukan?

Di akhir Desember 2020 sampai pertengahan Januari tahun ini, suami saya positif COVID 19. Saya dan anak alhamdulillah nggak mengalaminya karena suami tertular saat sedang perjalanan dinas dan untungnya terdeteksi sesaat sebelum ia kembali ke rumah.

Kejadian itu menjadi alarm, wake up call bagi saya untuk nggak terlena dalam situasi. Saya akui, saat itu kami memang mulai melonggarkan diri. Suami kembali dinas (in high frequency), anak saya masuk day care, kami mulai staycation juga.

And the game changed…

Saya lagsung nggak berani lagi menitipkan anak di day care. Karena saya pikir, mungkin aja kan’ ada orang tua anak lain yang mengalami seperti yang kami alami. Menular ke anaknya, lalu tanpa disadari menular ke anak kami….heuuuu, mudah-mudahan nggak terjadi ya pada siapa saja.

Akhirnya, saya memainkan peran berlapis di rumah. Mengurus anak, melakukan pekerjaan rumah tangga dan bekerja freelance. Awalnya terasa berat, sungguh, bahkan sampai sekarang. Anak saya bukan tipe anak yang bisa anteng bermain sendiri, ingin selalu ditemani dan karena fasenya sekarang ia memasuki terrible two, saya jadi harus ekstra mengawasinya dari bermain yang menyerempet bahaya. Setiap kali melihat saya membuka laptop, anak saya pasti merengek minta dipangku dan dihadapkan ke depan layar, lalu tangannya memukul-mukul keyboard. What a mess.

Jujur, saya kewalahan. Namun saya ingin bertahan. Saya ingat, ini yang dulu saya inginkan dan menjadi alasan saya terjun ke Upwork dan akhirnya melepas karier saya di kantor. Seperti ibu-ibu lain, saya ingin meluangkan waktu lebih banyak untuk anak, tapi saya tidak ingin (tidak mau, tidak bisa) menghilangkan identitas diri saya bahwa saya senang bekerja. I love to earn money by myself, I love to be independent.

Jadi, saya pun berusaha menyusun jadwal sedemikian rupa agar semuanya bisa ‘jalan’. Berikut ini catatan keseharian yang saya terapkan, siapa tahu bisa diadaptasi juga oleh ibu-ibu freelancer lainnya ya.

  • Saya memilih jam kerja lebih awal, agar tidak terganggu. Bangun pukul 02.00 dinihari lalu nggak lama kemudian mulai bekerja sampai anak bangun tidur (sekitar jam 7 atau jam 8 pagi). Ngantuk? Pastinya. Berat banget rasanya harus bangun dinihari dan memaksa otak bekerja lebih cepat. Namun lama-kelamaan, insya Allah terbiasa. Biasanya agar tidak mengantuk saya minum kopi, mendengarkan musik atau podcast, atau sambil menonton film di Netflix. Tontonlah film yang sudah pernah kita tonton sebelumnya, agar perhatian kita tidak jadi fokus ke film, hanya sesekali melirik film membuat mata kita cukup awas.
  • Ketika anak bangun, maka fokus saya hanya 2 hal: mengurus anak (menyuapi makan, memandikan, bermain, semuanya lah), mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti bersih-bersih, mencuci, memasak, bebenah, dsb.
  • Siang ketika kantuk menyerang, saya tidur siang bersama anak. Namun iika ada energi lebih dan memang kerjaan sedang banyak, waktu tidur siang dan tidur sore anak saya curi-curi buka laptop. Hehehe.
  • Usahakan sehari harus bisa mandi 2 kali sehari agar tetap fresh.
  • Malam hari biasanya saya sudah tutup laptop karena suami pulang. Jika sedang dinas, saya kadang buka laptop sebentar setelah anak tidur malam. Namun sering juga karena sudah capek, saya pun tertidur bersama anak.
  • Usahakan maksimal tidur jam 10 malam agar bisa bangun dinihari.
  • Punya ‘pelarian’ dari kejenuhan. Netflix, Google Playbook, Gramedia Digital, Disney+ Hotstar, Vidio, beberapa casual games, menggambar, painting by number adalah pelarian saya agar otak tetap ‘sanity‘. Jika ada project yang menuntut saya kerja keras banget, setelahnya saya memilih staycation untuk menyegarkan diri.
  • Harus punya support system.

Tentang support system. Dulu, saya pikir support system adalah orang-orang yang bisa membantu meringankan pekerjaan/kesibukan kita seperti: babysitter, ART, orang tua yang bisa dititipkan anak sesekali, atau daycare. Tapi setelah menjalani hari-hari yang saya gambarkan di atas selama kurang lebih 4 bulan terakhir, saya merasa definisi support system nggak terbatas hanya itu. Berikut ini support system yang saya andalkan selama menjalani rutinitas sebagai freelancer momma.

  • Lauk frozen adalah support system. Saya jarang banget masak lauk, hampir selalu pesan lauk frozen lewat Tokopedia yang diantar dengan kurir instan. Yang saya masak biasanya hanya dua: nasi dan sayur (karena dua hal ini kalau pesan terus-terusan lewat GoFood ya mahal jugaaa)
  • Laundry dengan fasilitas antar jemput adalah support system. Saya terbantu banget adanya laundry dekat rumah yang bisa antar jemput cucian dengan sistem bayar bulanan. I hate ironing (Siapa sih yang enggak? Hehehe). Semua baju kerja suami atau baju yang butuh disetrikaselalu saya masukkan laundry. Untuk pakaian saya (yang mana tiap hari saya sering dasteran hehehe) dan baju anak, cukup dilipat saja sebelum masuk lemari.
  • GoFood untuk weekend adalah support system. Again, saat weekend saya ingin lebih santai dengan tidak memasak sama sekali. Kalau saya lagi ‘kerasukan’ rajin, barulah saya memasak sesuatu yang beda seperti Zoupa Soup atau cake apaaa gitu. Yah, walau banyak eksperimen yang gagal sih. Saya memang nggak bakat masak 😦
  • KlikIndomaret adalah support system. Beneran, bukannya sombong, untuk sekedar belanja ke minimarket dengan membawa bayi itu nggak mudah. Pasti ibu-ibu banyak yang mengalami deh. Jangankan bayi, anak yang sudah gede aja bikin was-was kalau diajak minimarket (adaaa aja yang diminta beli). Jadi biar praktis, saya selalu belanja kebutuhan rumah tangga (terutama popok dan susu anak) menggunakan aplikasi ini. Untuk pembelanjaan di atas Rp 100,000 gratis ongkir. Cepat juga kok di antarnya.
  • Kurir yang bisa pick up adalah support system. Di samping freelance, saya berjualan buku di Tokopedia. Kecil-kecilan aja sih, gak terlalu diseriusi juga. Tapi dalam dua minggu ada saja order masuk. Nah, biar gak ribet anter barang ke agen logistik, saya selalu memakai jasa kirim yang bisa pick up barang dari rumah saya.
  • Belanja online adalah support system. Wah ini sih sudah tidak perlu dijelaskan lagi ya. Saya rasa belanja online sudah jadi kegiatan rutin sebagian besar ibu-ibu di Indonesia. Sepertinya sejak kenal mobile banking di tahun 2015, saya sudah convert belanja apa-apa online (termasuk kadang elektronik dan furniture pun lewat online jika sedang tidak ada waktu). Aplikasi yang paling sering saya gunakan: Tokopedia, Shopee, JDID, Zalora, Grobmart, Ruparupa, eh banyak banget sih. Hahaha.

See? Ternyata banyak yang bisa dilakukan ponsel pintar untuk mendukung karier sebagai freelancer dan ibu rumah tangga. Mungkin minusnya, saya jadi jaraaaang banget keluar rumah. Sampai-sampai ada tetangga becanda anak saya keluar rumah kalau bapaknya lagi tidak dinas. Sama bunda nya mah nggak pernah keluar rumah. Hahaha.

Akhir kata, saya ingin peluk jauh untuk para freelancer mommies. Juga untuk seluruh ibu yang bekerja dari rumah entah itu jualan online, mengajar online, membuka catering, dsb. Saya paham banget rasanya. Tidak mudah bekerja di tempat yang sama dengan kita pulang. Karena distraksi yang terjadi amat berbeda. Tidak seperti orang bekerja di kantor, dimana kita bisa meninggalkan sejenak ‘permasalahan’ di rumah, dalam peran ini kita harus menghadapi semuanya sekaligus. Bos di kantor yang menyebalkan bisa saja kita lupakan sejenak atau kita reject panggilannya saat sudah pulang kerja dan weekend. Tapi kalau anak rewel? Tentu saja tidak. They are attached to us in 24 hours, 7 days a week.

Belum lagi bosannya. Belum lagi kesepiannya. Belum lagi….wah panjang deh list-nya kalau kita nggak berhenti mengeluh. Saya pun masih berusaha untuk tidak mengeluh dengan bolak-balik meyakinkan diri: “Hei, apa yang kamu kerjakan sekarang itu adalah mimpi banyak ibu di luaran sana lho. Mengasuh anak di rumah sambil tetap memiliki penghasilan…it’s hidden gem!

Semoga bermanfaat ya, Freelancer Mommies.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s