Update-Alhamdulillah, saat ini kami sudah sehat seperti sedia kala.
Seperti yang kita tahu, saat ini Indonesia sedang mengalami badai wabah COVID 19 karena penularan varian Covid Delta dari India yang sangat cepat. Tidak perlu saya ceritakan lagi bagaimana kolapsnya fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, angka kasus dan kematian yang terus bertambah. Sementara itu seolah-olah ada di dunia paralel, di alternate universe, masih ada sebagian orang yang masih abai dan meragukan wabah ini benar adanya.

Tanggal 28 Juni lalu, saya dikonfirmasi positif COVID 19. Menyusul besoknya, 29 Juni 2021, putri saya yang berusia 17 bulan juga positif. Namun suami saya yang sudah pernah terkena COVID pada bulan Januari dan juga sudah diVAKSIN dari kantornya, dinyatakan negatif.
Meski sudah feeling anak positif COVID dari melihat gejalanya, tetap saja saya merasa panik dan shock. Sempat juga merasa marah: How can? Why us? Saya sudah sebulan lebih tidak keluar rumah. Karena pekerjaan saya full time freelancer di Upwork, otomatis saya tidak punya urgensi untuk sesekali ke kantor.
Baca juga: Pengalaman Bekerja di Upwork dan Menghasilkan $10,000+ dalam Setahun
Kami juga jarang sekali berpergian saat weekend, apalagi membawa si Kecil. Jika benar-benar ingin refreshing, kami memilih untuk staycation karena hotel biasanya menerapkan prokes lebih ketat dan kami lebih jarang bertemu dengan orang banyak seperti di tempat wisata. Selama lebih dari setahun pandemi, kami baru staycation sebanyak 4 kali. Kalau butuh banget ke mall (misal karena beli barang yang kami kurang sreg kalau lewat online seperti furniture/elektronik), saya dan suami komitmen tidak akan mengajak anak. Ke bioskop pun baru 2 kali, itu juga benar-benar di jam yang sepi dan kami bergantian dengan jaga anak di rumah. Hari-hari di rumah saya juga sangat jarang keluar dan bergaul dengan tetangga. Sebulan belakangan, karena sedang banyak project di Upwork dan agak kewalahan, saya tidak masak sama sekali. Supply makan 3x sehari mengandalkan Gofood, Grabfood, KlikIndomaret atau makanan frozen dari Tokopedia.
Namun mungkin dari semua inilah cara saya bisa tertular. Siapa yang tahu jika kurir-kurir tersebut ada yang positif COVID? 😦
Gejala yang saya alami pertama seperti flu biasa. Pusing, demam, pilek, sempat dikerok juga oleh ibu saya (alhamdulillah, ibu saya dinyatakan negatif). Namun ada satu gejala yang aneh: saya tidak mencium bau apapun atau anosmia. Literally anything. Biasanya jika pilek, kita bisa mencium bau walau samar bukan? Sampai suami saya mulai curiga ketika saya sama sekali tidak bisa mencium bau (maaf) BAB anak saya yang sudah begitu busuk. Saat itu saya masih menampik “Oh mungkin cuma karena hidung mampet”. Kesalahan pertama: menganggap sepele gejala.
Selama sakit, saya selalu pakai masker sepanjang hari di rumah karena anak saya biasanya rentan tertular pilek. Setelah kira-kira 5 hari saya merasa sudah benar-benar sehat, saya pun lepas masker. Dan pada hari itulah anak saya langsung menunjukkan gejala bersin dan demam walau masih aktif. Kesalahan kedua: lepas masker tanpa melakukan tes COVID/pemeriksaan terlebih dahulu.
Ternyata setelah benar-benar sehat, saya masih anosmia. Saya mulai merasa khawatir. Padahal rencananya saya akan vaksinasi pada hari Senin, 28 Juni 2021. Akhirnya atas dorongan suami yang sudah berulang kali cerewet menyuruh tes, saya pun tes Swab Antigen di klinik dekat rumah (Perlu saya tulis nggak kesalahan ketiga: nggak nurut sama suami? Hehehe). Dokter yang melakukan tes kemudian menganjurkan saya untuk Swab PCR karena mendengar gejala yang saya alami. Pergilah saya ke klinik yang lebih besar untuk tes PCR. Singkat cerita, esoknya Senin malam saya mendapat kabar bahwa saya positif dengan CT 31. Saya masih belum panik, namun langsung kepikiran anak.
Gejala yang ditunjukkan anak saya semakin terlihat, antara lain sebagai berikut:
- Tidak nafsu makan
- Badan terasa panas, walau suhu tubuh belum mencapai 38 derajat celcius
- Batuk-batuk keras
- Napas grok-grok, seperti ada lendir tertahan
Saya pun melakukan konsultasi dengan dokter anak di Halodoc yang kemudian meresepkan obat-obatan penurun demam dan penghilang batpil. Dokter anak tsb sangat komunikatif dan sabar menanggapi berbagai pertanyaan saya, diskusi pun bisa sampai 2-3 jam, tidak diburu-buru untuk mengakhiri sesi. Menurut saya bagus sekali karena saat anak sakit kita tentunya nggak bisa terus-terusan pegang handphone fokus chat dengan dokter. Anak saya sendiri benar-benar sangat butuh digendong dan dipeluk selama sakit. Oh ya, sini saya bisikin nama dokternya: Dr Adi Suryadinata Krisetya, Sp.A (duh mudah-mudahan jangan jadi susah dihubungi ya setelah saya publish ini haha).
Pada hari Selasa tanggal 29 Juni, gejala anak saya makin parah dan kami pun pergi tes PCR untuk anak saya dan suami. Iya, mau tidak mau saya yang sudah positif ini ikut juga karena anak saya benar-benar maunya nempel sama bundanya. Saya lapisi masker medis saya dengan masker KN95. Sekitar 2 jam antre (karena banyaknya orang, prosedur yang bertele-tele dan tenaga administrasi yang lamban di RS Binahusada Cibinong), akhirnya anak saya bisa dites PCR Same Day.
Malamnya sekitar jam 7, anak saya dikabari positif COVID dengan CT 18,2 dan suami negatif. Hancurnya hati saya, sungguh merasa bersalah bangeeeet karena sudah menularkan virus pada anak. Setiap kali anak batuk kesakitan, saya merasa ikut sakit melihatnya. Saat anak tidak mau makan sama sekali dan selalu dimuntahkan, saya terus menangis. Sungguh tidak tega melihat anak terus-terusan lemas. Walau kita sudah mengerti konsep anak hanya titipan, namun saat dihadapkan ujian seperti ini, hal tersebut benar-benar terasa. Saya mengandung, melahirkan dan merawatnya. Tapi ia sama sekali bukan milik saya, dana hanya Allah pemiliknya yang bisa melakukan apa saja padanya. Kita ini hanya hamba yang sangat tidak berarti dan tidak memiliki otoritas apapun.

Tata laksana perawatan yang saat ini saya jalani untuk anak:
- Terus berikan obat-obatan yang diresepkan dokter. Saya sengaja tidak share obat apa saja disini karena kondisi tiap anak berbeda, sebaiknya lakukan konsultasi dahulu dengan dokter masing-masing.
- Suapi anak dengan sabar. Sedikit tapi sering. Ini yang paling berat, karena anak saya menolak semua makanan kecuali buah, es krim, cereal yang dingin-dingin. Itu pun terkadang moody.
- Gendong anak setiap kali ia minta. Berikan kenyamanan ekstra padanya.
- Jemur anak di matahari pagi setidaknya 15 menit.
- Pantau saturasi oksigen di tubuh anak dengan oksimeter. Dokter mengatakan jika konsisten di bawah 94, segera larikan ke RS. Alhamdulillah sejauh ini belum.
- Berdasarkan arahan Dokter Apin di Instagram Video-nya, kegawatdaruratan terjadi jika anak mulai sesak napas. Karena itu selalu pantau napas anak. Melihat gejala yang ditunjukkan anak saya, tergolong masih gejala ringan dan sebisa mungkin dirawat di rumah.
- Karena saat ini ASI saya sudah tidak keluar (yang membuat saya secara irasional juga menyalahkan diri sendiri terus saat ini), saya ikhtiar minta ASIP pada teman dekat saya yang juga mempunyai anak perempuan. Semoga bisa menambah imun anak saya.
Bagaimana dengan suami? Suami masih serumah dengan pakai masker KN95 terus. Tidak memisahkan diri karena saya masih butuh banget bantuannya untuk mengurus anak yang sedang super rewel. Jadi ya…masih bolak-balik gendong anak juga. Semoga Allah melindunginya selalu. Saya pun langsung ‘minta cuti’ ke semua client selama seminggu ini dan mengabarkan project tentunya akan delay. Syukurlah semuanya mengerti dan memberi support. Walau saya juga masih menyesali: kenapa nggak dari kapan-kapan dulu saya vaksin? Karena kesibukan kerja, saya mengulur-ulur waktu vaksin. Sekarang setelah terpapar, saya harus menunggu at least 3 bulan lagi setelah dinyatakan negatif baru bisa vaksin. Kesalahan keempat: tidak menyegerakan vaksin. Memang vaksin bukan jaminan tubuh kita kebal, namun sangat meminimalkan resiko seperti yang dialami suami saya.
Tidak ada orang tua yang sempurna. Namun saya harap, kesalahan-kesalahan saya di atas tidak terulang pada orang tua lain. Ingat, saat ini anak-anak dan dewasa muda jadi kelompok yang paling banyak terjangkit virus Covid Delta ini. Lindungi anak semaksimal mungkin, dan nggak bosan saya ingin bilang: ngapain sih bawa anak ke tempat wisata, mall dan sebagainya? Nggak mati juga kok kalau nggak jalan-jalan. Sedih rasanya melihat masih banyak stories teman-teman yang melakukan demikian. Iya, anak masing-masing urusan masing-masing, tapi saya yang tidak suka anak kecil ini saja (kecuali anak sendiri) merasa patah hati ketika melihat anak jatuh sakit karena kelalaian orang tua. Saya mohon doa ya untuk anak saya.
Baik-baiklah, stay safe and healthy.