Sekitar 9 tahun lalu, ketika saya masih berusia antara 19 ke 20 tahun, saya pernah menuliskan target hidup selama 10 tahun ke depan atau artinya insya Allah sampai usia saya 30 tahun. Kenapa cuma 10 tahun? Ya karena merasa terlalu muluk-muluk aja gitu kalau sampai 50 tahun ke depan. Tulisan itu saya tempel di dinding kamar, dan meski tulisannya sudah entah kemana, saya masih ingat jelas apa saja target saya saat itu. Konon katanya, target yang dituliskan itu lebih ‘nyata’ atau memotivasi untuk diraih. Dan ya, memang benar begitu bagi hidup saya.
Apa saja target saya saat itu?
– Lulus kuliah dengan IPK Cum Laude ✅
– Jadi wanita karier dan mencapai level Manager ✅ Gak juga deng…membangun karier alhamdulillah tercapai, tapi baru sampai jadi Supervisor, eh resign jadi Freelancer. Hehehe. Yaaa namanya anak kuliah mimpinya masih idealis.
– Bisa naik haji bareng orang tua. ✅ Belum sebenarnya, akhirnya menyesuaikan budget dan kondisi (naik haji reguler antreannya bisa 10 tahun). Alhamdulillah tercapai umroh di tahun 2017. Saya pernah menuliskan ceritanya secara lengkap disini.
– Punya mobil sendiri. ✅ Sebelum menikah, saya dua kali punya mobil sendiri, tapi sebenarnya itu merupakan keputusan finansial yang saya sesali sekarang. Ahh, kenapa coba saya gak invest aja uangnya, di saham kek, reksadana kek, mungkin sekarang…ahh sudahlah. Saat ini saya sudah tidak punya mobil lagi, dan dengan berbagai pertimbangan, juga tidak mau memiliki mobil lagi dalam waktu dekat.
– Membangun usaha sendiri dengan pendapatan jutaan ✅ Hmm, kebanyakan duniawi yah? Yah maklum, dari kacamata gadis usia 20 tahun yang pemikirannya belum dewasa amat. Ya, saya memang pernah akhirnya merasakan membangun usaha sendiri dengan penghasilan hingga belasan juta per bulan. La Tansa Project, yang saya pernah ceritakan disini juga. Dan qadarullah, akhirnya juga usaha tersebut tutup di 2020 karena efek pandemi dan kesibukan saya sebagai ibu baru dan kerja di Upwork.
– Menikah dengan orang yang tepat dan memiliki anak ✅ Ini tercapai di 2019, alhamdulillah, walau saya juga harus melalui perjalanan berliku juga untuk menemukan jodoh yang tepat (ceritanya disini) Setahun kemudian anak saya Ghumaisha lahir. Saya mensyukuri kehadiran mereka dalam hidup saya, sungguh, every single time of it. Mereka membuat hidup saya terasa begitu berarti.
Kelihatannya 8 tahun terakhir ini hidup saya mulus-mulus saja ya? Kenyataannya tidak. Ada masanya dimana saya mengalami kegagalan, jatuh, salah langkah, sedih, depresi, kepahitan, dan sebagainya. Namun target-target yang telah saya tulis membuat saya tetap stick to the purpose, alhamdulillah membuat saya tidak mengacaukan arah hidup saya.
Tapi, ada satu target yang sampai sekarang belum kesampaian….
– Melanjutkan S2, terutama S2 di luar negeri.
And the dream continues…
Memantapkan Diri (Lagi) untuk S2
Mimpi untuk bisa S2 di luar negeri sudah lama saya pendam. Saya pernah menuliskannya dalam Memantapkan Diri untuk S2 . Saat itu, saya menyadari kebimbangan terbesar saya adalah ‘mengejar’ target menikah atau melanjutkan S2 dulu. Tekad saya pun sudah cukup kuat, saya mengambil tes IELTS pada Juli 2018 dan bersiap untuk mendaftar beasiswa incaran saya: Chevening. Bahkan saat itu saya sudah melakukan proses registrasi di sistem Chevening dan menulis esai. Hingga pada September 2018, datanglah seorang laki-laki yang kemudian menjadi suami saya dan menyatakan keseriusannya untuk melamar saya di bulan Desember 2018. Sejak sebelum acara lamaran, saya akhirnya memilih untuk berkonsentrasi mempersiapkan pernikahan daripada meneruskan proses melamar beasiswa. Tahu sendiri kan’ pusingnya menyiapkan pernikahan….
Alasan saya memprioritaskan pernikahan adalah: kesempatan menemukan jodoh yang tepat nggak akan selalu ada, sedangkan kesempatan melanjutkan S2 insya Allah akan selalu ada. Hahaha. Pikiran yang agak terlalu idealis, karena ketika sekarang saya ingin melanjutkan S2 lagi pun ada banyak pertimbangan yang dipikirkan.
Pertama, tentu saja anak dan suami. Awalnya, suami mengizinkan saya untuk S2 di dalam negeri, dengan beasiswa atau biaya sendiri. Namun yang menjadi kendala adalah: tidak banyak beasiswa yang ditawarkan untuk S2 dalam negeri, dan untuk kuliah dengan biaya sendiri pun saya merasa berat. Mahaaaaal bok! Suami menyarankan saya memilih kampus yang ‘biasa’ saja, agar biayanya masih terjangkau. Tapiiiii….wajar sebagai manusia, saya ingin kualitas pendidikan yang lebih baik atau setara dengan kampus S1 saya dulu. Lagipula, jika kuliah dengan biaya sendiri, otomatis saya akan menyasar kelas reguler dengan jam perkuliahan biasa, tentunya saya tidak bisa bekerja. Hmm, sebagai sandwich generation dimana saya dan suami masih menanggung biaya hidup orang tua sepenuhnya (menanggung ya, bukan sekedar membantu), akan sulit bagi finansial keluarga kami jika saya tidak bekerja.
Jadi? Melanjutkan S2 di luar negeri dengan fully funded adalah opsi terbaik yang saya miliki sekarang. Saya tidak perlu memikirkan biaya kuliah dan biaya hidup, fokus saja belajar dan berkontribusi pada masyarakat sesuai ekspektasi si pemberi beasiswa. Sebenarnya, ada banyak lagi alasan kenapa ingin kuliah di luar negeri. Ya, tentu Anda sering mendengar semacam: ingin merasakan pengalaman baru, membuka wawasan internasional, membuka lebih banyak kesempatan, leebih prestatif, dan sebagainya.
Kedua, anak dan suami (lagi). Jika misalkan saya diterima, apakah kami harus menjalani Long Distance Marriage? Diskusi ini sempat berjalan alot dengan suami, karena suami merasa berat meninggalkan pekerjaannya sekarang (bukan karena posisinya sudah ‘wah’, tapi saya tahu banget dia sangat enjoy dengan pekerjaan dan tempat kerjanya). Awalnya, kami sepakat dengan skenario: saya kuliah sendiri, suami tetap stay di sini dengan anak kami dibantu asuh oleh ibu saya. Tapi…..lagi-lagi hati saya tidak tenang. Saya nggak bisa membayangkan berpisah, walau cuma setahun dua tahun dengan anak. Diam-diam saya selalu berdoa agar suami bisa berubah pikiran dan bersedia ikut dengan saya bersama anak kami jikalau saya bisa S2 di luar negeri. Dan….tiba-tiba ada berita pasangan suami istri artis yang meninggal dalam kecelakaan dan meeninggalkan anak mereka yatim piatu. Berita sedih itu membuat saya berkata pada suami “Ayah, kita harus tetap bersama. Pokoknya sama-sama terus. Rezeki bisa dicari, tapi kebersamaan ngga bisa diganti”. Akhirnya suami pun setuju untuk ikut. Ahh saya jadi terharu.
Ketiga, beasiswanya????Nah ini, setelah ridho suami dikantongi, yang harus saya kantongi adalah beasiswanya. Ada ngga yang mau ngasih? Hahaha. Dan akhirnya, sejak September tahun ini, say resmi menjadi scholarship hunter. Belajar IELTS lagi (karena IELTS saya sebelumnya sudah expired), ikut tes IELTS lagi, daftar beasiswa, nulis esai, daftar kampus, dan seterusnya. Saya sampai membuat Google Sheet untuk mmbuat checklist yang saya lakukan dan apa saja beasiswa dan kampus yang saya lamar.
Tahu nggak? Sampai sebelum ini, saya sempat ada di titik kejenuhan sebagai ibu, sebagai freelancer, yang notabene terus-terusan di rumah. Saya merasa kehilangan identitas, karena peran saya seolah tidak terlihat di masyarakat. Saya tidak tahu apakah ini post-power syndromme atau need for recoginition, tapi saya tahu pasti bahwa saya lebih bahagia ketika saya berproses untuk mencapai sebuah target yang positif. Saya tidak bilang menjadi ibu itu sesuatu yang tidak membahagiakan, tapi saya merasa gelisah setiap kali memikirkan peran dan cita-cita saya. Barangkali posting di bawah sangat tepat mewakili perasaan saya dan mungkin ibu-ibu lainnya.
Dan inilah progress saya sejauh ini dalam ‘meminang’ beasiswa dan kampus. Jalan masih panjang, masih banyak beasiswa dan kampus lainnya yang akan saya coba. Bismillah.
Meskipun akhirnya suami mendukung cita-cita saya, namun saya juga harus berkompromi dengan kepentingan keluarga kecil kami, tidak bisa egois ingin memenangkan keinginan saya sendiri. Karena itu, saya dan suami sepakat bahwa perjuangan scholarship hunting ini maksimal sampai 2 tahun, ketika masa berlaku IELTS saya nantinya habis. Jika setelah 2 tahun saya masih belum berhasil, maka saya harus ikhlas mengejar beasiswa atau kuliah dengan biaya sendiri di dalam negeri. Selama 2 tahun itu pun adalah kesempatan saya mengumpulkan tabungan untuk dana jaga-jaga jika diterima kuliah di luar negeri atau dana kuliah di luar negeri. Batasan waktu ini pun kami pertimbangkan karena adanya rencana kami kelak menambah anak di masa depan.
2020 vs 2021
Refleksi akhir 2021 ini tidak terlepas dari evaluasi apakah tahun ini saya bisa lebih baik dari tahun sebelum nya. Resolusi tahun 2020 sebenarnya adalah resolusi saya dan suami. Hanya ada 3 resolusi kami saat itu: melahirkan anak dengan lancar dan sehat, belajar terus sebagai orang tua baru, dan membeli rumah. Alhamdulillah, pada Oktober 2020, impian kami membeli rumah sendiri secara cash tanpa riba bisa tercapai. Dan karena 2020 kami merasa cukup ngos-ngosan dalam menjalankan resolusi (terutama bagian beli rumah hahaha), maka tahun ini saya dan suami tidak punya resolusi bersama. Suami memilih menjalani hidup di 2021 mengalir saja, sedangkan saya memiliki resolusi yang santai: jadi ibu yang lebih baik, tetap menjalani kerja freelance, membaca lebih banyak buku dan lebih rajin menulis blog (yang saya coret artinya tidak sepenuh hati saya coba raih hehehe).
Dan ya, tahun ini saya isi dengan lebih banyak kontemplasi diri: setelah jadi ibu, saya mau apa? Apa yang bisa saya lakukan dalam hidup saya agar saya bisa lebih bermanfaat untuk orang lain? Bagaimana menjalani peran saya sebagai ibu tanpa melupakan ambisi pribadi? Dan perasaan semacam itu. Hingga akhirnya saya teringat untuk kembali melanjutkan mimpi saya yang tertunda, menuntaskan target terakhir dalam bucket list yang saya tulis delapan tahun lalu. And maybe, I will write another bucket list when I reach 30 years old, insya Allah.
Bagaimana dengan resolusi tahun depan? Hmm, masih saya pertimbangkan. Memang, setiap tahun saya selalu membuat resolusi, biasanya tidak pernah lebih dari lima buah, agar lebih fokus. Kriterianya: achievable, penting, dan realistis. Tapi sejak beberapa tahun lalu, saya sudah mengeluarkan diet dari resolusi tahunan….karena nggak pernah berhasil! Hehehe.
Well…
Saya pernah menyaksikan dua teman baik saya meninggal di usia muda, belum sampai 30 tahun. Saya membayangkan, pasti ada mimpi-mimpi mereka yang juga ikut terkubur, tidak sempat tercapai, namun setidaknya mereka pernah memiliki cita-cita, dan itu pun tetap berarti. Saya pun tidak tahu sampai kapan usia saya karena itu, I want to live my life to the fullest, sambil tetap memperbaiki ibadah. Ya Allah, hamba mohon ridha-Mu….
Di suatu pagi yang basah di bulan Desember 2021, kutuliskan ini saat suami dan anakkku masih tertidur pulas
One thought on “Refleksi Akhir 2021”