Perjalanan di 2022

Assalamualaikum, halo!

Seperti biasa, satu tahun berlalu tanpa terasa. Tanpa terasa juga, ternyata saya baru bisa menulis lagi di blog ini di penghujung tahun, sehingga sudah ada banyak kisah yang terjadi. Maka tulisan ini sekedar menjadi refleksi bagi saya menengok ke belakang, memikirkan (sekaligus merenungkan) apa saja yang terjadi di tahun ini, agar (mungkin) lebih siap dan fokus di tahun 2023.#ceilah

Saya bukanlah tipe orang yang let it flow, saya selalu memiliki planning apa yang akan saya lakukan selama setahun ke depan, lima tahun ke depan, bahkan sepuluh tahun ke depan (ini serius). Para motivator pasti sangat menyukai audience seperti saya. Hehehe. TAPI…saya selalu fleksibel dalam teknis pelaksanaannya. Misal, ketika sepuluh tahun lalu sekitar usia 20 saya pernah menulis ingin naik haji dalam sepuluh tahun ke depan, ternyata saya baru kesampaian untuk umroh di tahun 2017. Semacam itulah. Oh ya, tulisan refleksi 2021 pun ternyata masih tersimpan rapi di blog ini 🙂

Hanya saja, 2022 menjadi tahun yang sungguh unpredictable bagi saya. Ya, memang ada rencana yang akhirnya tercapai di tahun ini, tapi tetap saja…semuanya terasa ahh entahlah.

Januari – Februari 2022

Saya masih begitu semangat berjuang mendapatkan beasiswa S2 keluar negeri dan masih juga mengalami berbagai penolakan meski sudah diterima di semua kampus tujuan. Sebelumnya saya pernah menulis tentang saya diterima di Lancaster University, UK dan University College Dublin, Ireland. Baiklah, ini adalah kelanjutannya.

  • Saya gagal mendapatkan beasiswa Chevening 2021 untuk melanjutkan ke Lancaster University
  • Sebagaimana yang saya sudah tulis tentang UCD Ireland, saya tidak jadi mendaftar beasiswa GOI IES untuk berkuliah di UCD Ireland
  • Saya diterima program studi MSc Sustainability Entrepreneurship di University of Groningen, Netherlands tapi gagal mendapatkan beasiswa Eric Bleumink Fund.
  • Saya diterima program S2 Entrepreneurship di Uppsala University, kemudian gagal mendapatkan beasiswa SISGP untuk berkuliah di Swedia.
  • Saya diterima program Master of International Business dari University of Auckland, namun tidak jadi mendaftar beasiswa Asian Development Bank (ADB) karena New Zealand masih tutup border untuk mahasiswa internasional.

Honestly, I was a little bit tired. Mendaftar kampus adalah satu hal, dan mendaftar beasiswa adalah hal lainnya. Dua jalur yang terpisah. Bahkan di SISGP, saya tidak hanya mendaftar satu kampus, tapi juga di 3 kampus berbeda dan saya diterima pada pilihan pertama di Uppsala University, dengan biaya pendaftaran pun tergolong tidak murah yaitu 900 SEK atau sekitar 1,7 juta. Pada proses aplikasi Univeristy of Groningen pun, saya harus mengirim fotokopi transkrip nilai yang dilegalisasi dan biaya kirim dokumen ke Belanda mencapai 400ribuan. Belum lagi biaya yang sempat saya keluarkan untuk mendaftar UCD.

Begitu juga waktu yang saya habiskan, membuat saya menjadi kurang produktif dalam kerja freelance di Upwork. Otomatis, penghasilan pun menurun karena prinsipnya kerja freelance itu ya kalau gerak ada job dapat duit, kalau jarang gerak, no job yaa tentu saja nggak ada penghasilan. Hehehe. Jadi intinya, sejak September 2021 saya fokus untuk mencari beasiswa dan mendaftar kampus tidak saja menguras tenaga, biaya, waktu tapi juga membuat performance saya di Upwork menurun.

Oh ya, di bulan ini pula saya dan suami sepakat untuk hire pengasuh merangkap ART bagi anak kami untuk membantu saya di rumah. Alhamdulillah, ART tersebut masih bekerja dengan kami sampai sekarang.

Maret – April 2022

Saya sampai di titik jenuh untuk kerja freelance dan berpikir untuk kembali bekerja kantoran. Sebenarnya bukan semata-mata karena jenuh, tetapi juga ingin menaikkan ‘nilai jual’ saya di mata tim penilai beasiswa. Sepertinya mungkin ya..mungkin…saya dinilai tidak layak mendapatkan beasiswa karena pekerjaan saya sekarang hanyalah freelancer. Saya bukanlah orang yang memangku kepentingan tertentu di suatu institusi, tidak berkontribusi secara langsung pada masyarakat, bukan influencer, bisa dibilang semi-pengangguran lah. Coba saja, jika aplikasi saya disandingkan dengan pelamar lain yang bekerja sebagai ASN di suatu kementerian atau manager di suatu perusahaan startup misalnya…kira-kira kualitas saya menjanjikan nggak untuk jadi penerima beasiswa? Meski saya sebelumnya pernah kerja kantoran selama 5 tahun, namun terakhir saya bekerja itu sudah cukup lama (November 2020). Saya rasa ini yang menyebabkan credential saya kurang menjual sebagai penerima beasiswa.

Karena itulah, di awal Maret saya memperbarui CV dan melamar pekerjaan. Saya menyebar CV saya ke Jobstreet, Linkedin, dan berbagai channel lainnya. Subhanallah, ternyata sulit sekali sekarang mencari pekerjaan. Sungguh berbeda dengan kondisi saya terakhir kali diterima kerja pada 2018. Mungkin efek pandemi, resesi, atau apalah. Dan yang lebih menyebalkan lagi, tahapan rekrutmen bisa sangat melelahkan tanpa kepastian. Kalau dulu biasanya saya melalui maksimal 2 tahap, sekarang bisa 4 sampai 6 tahap. Total saya melakukan wawancara sampai 20 kali lebih! Saya membayangkan betapa sulitnya fresh graduate lulusan pandemi mencari kerja. Rasanya jadi tidak berlebihan banyak Gen Z mengeluh sulitnya hidup di Twitter.

Di bulan Maret pula, saya dan suami memutuskan merenovasi rumah kami karena kacaunya struktur saluran air yang menyebabkan rumah kebanjiran ketika hujan besar. Kami membongkar seluruh lantai, meninggikan pondasi rumah hingga 40cm, memperbaiki jalan saluran air, kemudian memasang lagi lantai. Karena renovasi ini tergolong major, kami ‘mengungsi’ sebulan ke rumah milik tetangga di seberang yang kebetulan tidak dihuni. Cukup melelahkan dan tentu saja membuat kami merogoh tabungan cukup dalam.

Mei – Juli 2022

Awal Mei, setelah dua bulan lebih kesana kemari mencari pekerjaan (untungnya sekarang semua wawancara bisa online yah), akhirnya saya diterima bekerja sebagai Visa Processing Officer di sebuah kedubes negara maju berbahasa English di Jakarta (ribet ya kodenya hehe). 16 Mei 2022, saya pun mulai bekerja di sana. Tidak bisa dipungkiri, saya cukup kaget beradaptasi kembali kerja kantoran. Apalagi di lingkungan pemerintahan yang jam kerja nya tidak bisa fleksibel. Jam enam pagi saya pergi dari rumah, sampai kantor 7.30, mulai kerja 7.45, pulang kerja tepat pukul 16.00 dan sampai rumah 17.30. Begitu terus setiap hari, terasa sangat monoton. Saya yang semula terbiasa bangun subuh, me time dulu, santai-santai, jam 7.30 baru mandi, lalu cukup dasteran kemudian kerja jam 8, kemudian saya terengah-engah lagi di tengah sesaknya KRL Bogor-Jakarta seperti beberapa tahun silam.

Saya akui, pekerjaan yang saya jalani cukup mudah. Saya masuk bersama beberapa VPO baru lainnya dan saya tergolong high performance selama masa probation (ini bukannya sombong, tapi pekerjaannya memang terlalu mudah untuk saya hehehe). Lingkungannya sangat profesional, atasan dan kolega saling support. Semua terbiasa rapi, pulang on time (nggak ada ceritanya pulang kalau atasan udah pulang), dan sangat menghargai work life balance. Sebenarnya disana adalah zona nyaman bagi ibu rumah tangga. Asuransi nya oke, jatah cuti banyak, range gaji lumayan besar, TAPI…(duh manusia ya…) saya merasa tidak berkembang di sana. Departemen yang saya huni adalah departemen yang sulit jenjang kariernya. Sulit untuk naik jabatan dan job desk nya yaaa itu-itu saja, tidak ada tantangan sama sekali. Mungkin karena itulah departemen tsb menjadi yang paling tinggi turn over rate nya. Meski begitu ada beberapa kolega saya yang sudah terjebak zona nyaman, bekerja disana sejak tahun 90-an atau 2000an awal (iya, serius) di posisi yang sama dengan saya. Saya sulit membayangkan terus-terusan bekerja di posisi yang sama sekian puluh tahun, mengingat sejak 2015 saya bekerja sudah ganti kantor 4 kali sebelum ini. Hahaha.

Di awal Juni, saya mulai cemas memikirkan kondisi anak saya yang masih belum juga bisa bicara. Usianya sudah 2 tahun 4 bulan, namun masih sangat sedikit kata yang ia ucapkan, sekitar kurang dari 50 kata, itu pun tidak intens dia ucapkan. Semua ciri-ciri speech delay ada padanya. Anak saya juga terlihat sulit fokus, sering tantrum, dan terkadang kesulitan menangkap instruksi meskipun ia masih terlihat ceria dan sangat aktif. Saya curiga ia mengalami ADHD atau autisme, karena saya pernah melakukan assessment mandiri melalui tes M-Chart R dan anak saya mendapat skor 4, yaitu medium risk terhadap autisme. Pembahasan mengenai ini selanjutnya akan saya bagikan di posting tersendiri ya. Singkat cerita, setelah berpikir panjang dan galau, akhirnya saya memutuskan untuk…resign. Saya ingin fokus memeriksakan anak dan jika memang dibutuhkan, mengikutkan ia terapi. Sejak akhir Juni saya pun mengajukan one month notice ke atasan. Singkat, tapi ya mau bagaimana lagi.

Akhir Juni saya akhirnya memutuskan untuk mengikuti SIMAK UI program Magister Ilmu Manajemen, peminatan Digital Marketing and Analytics. Keputusan yang berat bagi saya, mengingat mimpi saya untuk melanjutkan S2 keluar negeri begitu besar dan sudah saya tuliskan juga di blog ini sejak 2018. Sebagian besar alasan dari keputusan ini tentu saja: anak. Saya sulit membayangkan berjauhan dengan anak saya yang masih satu-satunya, di usianya sekecil ini, ditambah kondisinya saat itu. Jika saya membawa ia sendiri, saya butuh support system yang bisa membantu saya menjaga anak ketika kuliah dan itu tidak mudah didapatkan seperti di sini. Mengapa suami tidak ikut saja?

Hhh *menghela napas

Selama berbulan-bulan rencana S2 ini bergulir, suami saya teguh pendirian untuk tidak mau mendampingi saya S2 di luar negeri. Ia memikirkan pekerjaannya, memikirkan ibunya yang sakit, dan beberapa alasan lainnya. Suami pun berulang kali mengatakan ia lebih mendukung saya kuliah S2 dalam negeri. Saya sempat terpikir membawa serta ibu saya untuk membantu mengasuh anak, tapi ibu saya juga masih merawat nenek yang sudah sepuh. Meski ibu saya sih mau-mau saja, tapi banyak hal (dan biaya) yang tentunya harus dipersiapkan. Singkat kata: semesta tidak mendukung

Di akhir Juli saya dinyatakan lulus SIMAK S2 UI sekaligus hari terakhir bekerja di kedubes.

Agustus – September 2022

Saya intensif melakukan terapi untuk anak saya. Setelah melalui tahap yang cukup panjang dan cukup melelahkan bolak balik ke RS Universitas Indonesia ((RS UI), hamdallah, anak saya dinyatakan normal, tidak ada autis atau gejala ADHD hanya memang positif speech delay dan harus mengikuti terapi wicara dan okupasi terapi. Selama bulan-bulan inilah saya juga kembali kerja freelance di Upwork, ambil beberapa freelance job di luar Upwork dan mengajar IELTS secara online. Berusaha sebisa mungkin untuk tetap produktif.

Di bulan Agustus, saya mendaftar beasiswa LPDP dalam negeri. Saat itu deadline pendaftaran 5 Agustus 2022, dan saya benar-benar baru menulis esai H-3 deadline pendaftaran dan meminta surat rekomendasi pada H-1 deadline. Ya, memang nggak benar-benar niat (bukan benar-benar nggak niat ya, beda kan? hehehe). Singkat cerita karena saya sudah mendapat LoA dari UI, saya tidak perlu mengikuti tes bakat skolastik lalu kemudian lolos ke tahap tes substansi atau wawancara pada 25 September 2022. Lagi-lagi masih minim persiapan. Tulisan lengkap tentang LPDP akan saya bagikan di posting tersendiri ya.

Oktober – November 2022

Di bulan ini saya kembali melamar pekerjaan tetap. Kali ini saya strict dengan kriteria: tidak harus setiap hari masuk kantor dan maunya benar-benar sesuai passion saya di market research dan analysis. Saya pun menjalani proses rekrutmen dengan santai, tidak se ngoyo dulu seperti bulan Maret karena saya juga masih mengerjakan beberapa proyek freelance. Santai dan agak picky lebih tepatnya. Alhamdulillah, di pertengahan Oktober saya diterima bekerja sebagai Senior Market Analyst di sebuah perusahaan market research asal US tetapi saya ditempatkan untuk regional Asia Pasifik. Dalam seminggu saya biasanya sekali saja masuk kantor (ada kantor representatif di Jakarta) untuk bertemu klien (itu pun biasanya di luar kantor). 90% pekerjaan dilakukan online, karena memang atasan saya berkantor di Malaysia dan seemua tim saya menyebar di negara-negara Asia Pasifik. Saya sendiri in charge untuk pasar Indonesia. Saya menyukai pekerjaan ini sekaligus stress menghadapinya, terutama dalam hal bekerja sama dengan tim. Seringkali saya kesulitan memahami ucapan mereka dengan aksen English yang berbeda-beda. Entah kenapa memahami orang US dan Australia bicara jauh lebih mudah dibandingkan atasan saya (orang India), tim saya lainnya yang orang Mandarin, Singapura (yang campur-campur Singlish) dan orang Philippina yang aksennya mirip-mirip orang Meksiko.

Sampai sekarang saya masih berusaha memahami dan beradaptasi dengan pekerjaan ini. Pressure yang saya rasakan juga begitu besar, hingga beberapa kali saya menangis karena sulitnya pekerjaan ini. Pernah saya rasanya mau menyerah, mau resign saja, tapi kok ya…mau sampai kapan saya begitu? Saat ini sedang banyak sekali layoff terjadi, makin sulit mendapat project freelance, ekonomi global sedang resesi, terlebih kompensasi dan benefit yang saya dapatkan sekarang juga mengalami kenaikan dibandingkan kerja di Kedubes (sebanding dengan tuntutan kerjanya lah ya hahaha).

Pada 11 November 2022 pengumuman beasiswa LPDP keluar: saya diterima! Senang, bersyukur, sekaligus heran: kok gampang banget ya…hehehe. Padahal minim persiapan, tidak benar-benar niat…saya nggak tahu apakah ini semacam tanda dari Allah bahwa inilah jalan yang terbaik untuk saya?

Desember 2022

Di tengah stressnya beradaptasi dengan pekerjaan baru, saya mengikuti PK atau Persiapan Keberangkatan LPDP secara daring selama 10 hari kerja. Karena PK nya online, kerjaan kantor pun online, saya memutuskan tidak ambil cuti. Saya menggunakan dua laptop, laptop kantor untuk kerjaan kantor dan laptop pribadi untuk mendengarkan sesi seminar PK daaaan…rasanya kepala pun mau pecah >,< Zoom fatigue is real!

Disini saya benar-benar merasa stress, karena deadline pekerjaan, mengerjakan tugas-tugas PK, dan perasaan mellow muncul lagi ketika berinteraksi dengan teman-teman sesama awardee yang diterima LPDP luar negeri. Ada perasaan menyesal, apalagi ketika mendengar beberapa awardee bercerita latar belakang pekerjaannya sebagai freelancer. Ada perasaan muncul, “Ah, dia saja yang kerjanya gitu doang bisa dapat untuk luar negeri. Dia saja yang fresh graduate bisa dapat luar negeri. Kenapa ya aku nggak coba LPDP luar negeri kemarin…mungkin aja aku bisa dapat…” dan perasaan lain semacam ‘aku gagal’, ‘aku bodoh’, ‘kenapa aku nggak bisa menggapai cita-citaku’, ‘kenapa aku baru mengejar beasiswa saat sudah nikah dan punya anak’, dan semacam itulah. Sedih, saya sampai nangis berhari-hari, di minggu kedua PK saya sudah tidak bersemangat dan sering mute acara PK. Saya hadir, tapi tidak mendengarkan. Saya jadi sering uring-uringan di rumah dan marah-marah pada suami. Why he didn’t support me for study abroad since the first place? Why? Why? Rasanya semakin marah jika suami dan orang-orang sekitar saya mengatakan saya harusnya bersyukur, hidup saya sudah sempurna, dan lain sebagainya. Iya, saya bersyukur, saya hanya bisa belum menerima mimpiku sejak lama kandas.

Beberapa hari lalu, setelah emosi saya cukup mereda, saya berlibur selama 4 hari bersama suami dan anak ke Lombok sambil mengikuti suami dinas. Liburan keluarga ini ternayata cukup efektif mengobati perasaan sedih saya, sekaligus malah membuat saya jadi berpikir lagi, jika saya dapat kesempatan kuliah di luar ngeri, terasa berat jika meninggalkan anak di sini, pun tidak mudah membawanya bersama saya ke sana. Saya mencintai keluarga saya, dan saya tidak ingin menjadi egois memaksakan kehendak. Tapi….ahh entahlah.

Hingga detik saya menulis posting ini, saya masih merasa bimbang, apakah saya terus berusaha mencari beasiswa keluar negeri atau menerima saja rezeki LPDP dalam negeri. Suami pun akhirnya juga luluh, dan menyarankan saya lanjut mencoba, kembali ke konsensus awal kami, sampai masa berlaku IELTS-ku habis pada Oktober 2023. “Biar kamu nggak penasaran”, begitu katanya. Ya, jauh di dalam hati, saya takut ada perasaan menyesal karena belum maksimal mencoba. Tapi…anak saya sekarang sudah banyak bicaranya, sudah banyak kemajuan, dan saya tidak ingin kehilangan momen bersamanya.

Doakan ya, semoga saya bisa mengambil langkah terbaik dan mendapatkan yang terbaik.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s