Desember adalah bulannya liburan, begitu juga untuk keluarga kecil kami. Bedanya, kami biasanya tidak pergi liburan di akhir Desember untuk secara khusus merayakan tahun baru di suatu tempat. Kami justru berlibur di pertengahan Desember, saat temapat-tempat wisata masih belum terlalu ramai dan tentunya harga tiket belum melonjak hehehe.
Lombok sebenarnya adalah destinasi yang sudah lama masuk wishlist saya, hanya saja selalu terhalang berbagai macam kesibukan (haish…) dan biaya hahaha. Maklum, sejak pandemi mereda dan social distancing benar-benar dilonggarkan di tahun ini, tiket pesawat jadi meroket. Hukum ekonomi sih ya, semakin tinggi demand, semakin tinggi harga barang. Akhirnya liburan ke Lombok baru terealisasi pada bulan Desember 2022 ini, itu pun secara tidak sengaja karena suami kebetulan ada agenda dinas ke sana. Persiapan kilat, beli tiket juga mendadak, ternyata seperti kata mitos: ‘yang dadakan biasanya jadi’. Hahaha.
17 Desember 2022
Kami berangkat pagi sekali dari Soetta menggunakan Super Air Jet dan kali ini tidak seperti tahun lalu kami ke Bali, anak saya sudah dikenai tiket dan mendapat kursi sendiri. Duh ya nggak kuat juga sih harus memangku dia yang udah beraaat. Super Air Jet ini tergolong maskapai baru, masih satu grup dengan Lion Air dan Batik Air. Kesannya naik pesawat ini? Relatif lebih murah, lebih sempit (tentunya), turbulence lebih terasa, dan sepertinya nggak lagi deh…hehehe. Ohya, sekarang tidak perlu PCR lagi ya, bahkan di bandara pun tidak ditanya sertifikat vaksin.



Sampai di Bandara Lombok, saya cukup surprised karena bandaranya ternyata sudah sebagus I Gusti Ngurah Rai (yaiyalah yaa habis MotoGP). Tidak lama kemudian kami dijemput oleh pihak sekolah (suami kerja di bidang pendidikan btw), kemudian kami diajak makan di RM Ayam Puyung, salah satu masakan khas Lombok. Rumah makan ini lokasinya cukup dekat dari bandara dan sepertinya merupakan perhentian favorit bagi para traveler yang baru keluar bandara.
Selesai mengisi ‘tangki’ perut, kami pun beranjak lagi ke destinasi wisata pertama yaitu Desa Sade. Jadi desa ini merupakan desa adat yang masih memelihara kebudayaan, cara hidup dan rumah adat suku Sasak. HTM untuk masuk Desa Sade adalah Rp 50,000 per 2 orang. Begitu sampai di sana, kami langsung disambut seorang guide yang merupakan putra suku tsb yang kemudian menjelaskan tentang Desa Sade, tradisi, dan informasi umum lainnya. Setelah itu ia mengajak kami berkeliling desa sambil menerangkan berbagai tempat di sana sambil soft selling hasil kerajinan tenun dan merchandise lainnya. Saya juga berkesempatan mencoba mesin tenun dan ternyata menenun itu susah hahaha.


Menurut saya rumah-rumah di desa ini tergolong padat sehingga di beberapa bagian terkesan agak kumuh. Banyak anjing liar diman-mana, membuat kami mengurungkan niat untuk shalat di sana meskipun warga desa ini hampir 100% Muslim. Jalanannya pun kurang terawat dan licin saat sehabis hujan, dari segi penataan masih kurang ya dibandingkan desa adat serupa di Bali. Setelah tur Desa Sade selesai, kami pun mampir dulu ke Masjid Nurul Bilad Mandalika untuk shalat Zuhur. Masjidnya besar, asri dengan halaman sangat luas yang cocok juga untuk piknik keluarga, mengingatkan saya pada masjid raya Bandung. Anak saya senang sekali berlarian di halaman masjid ini.



Setelah shalat, kami pun melanjutkan perjalanan ke Bukit Seger dan Kuta Mandalika atau lebih dikenal Mandalika saja. Orang sana cara menyebutnya “Mandalike” mirip-mirip logat orang Bali. Bukit Seger ini terletak persis di sebelah kawasan sirkuit Mandalika. Sayangnya jalan kesana masih belum diaspal, benar-benar tanah merah dan bebatuan. Konon katanya sih karena jalan tersebut adalah tanah milik individu dan belum dibebaskan. Ketika menuju bukit, mobil yang kami tumpangi dikenai pungutan liar oleh warga lokal sebesar Rp 40,000. Meskipun Pak Kepsek yang mengendarai mobil nego dengan bahasa Sasak, tetap tidak bisa ditawar 😦
Daaan ini bukitnya. Baguuus ❤ Dari sini kita bisa lihat sirkuit sekaligus Pantai Seger. Oh ya, sejak awal Pak Kepsek sudah mewanti-wanti kami harus terbiasa ‘dikintili’ pedagang dan bahkan jualannya agak maksa. Dan mereka literally selalu ada di setiap tempat wisata di Lombok. Agak mengganggu sih, tapi kita harus maklum karena Lombok ini bisa dibilang belum se-‘mature‘ Bali dalam pengelolaan pariwisata, jadi masyarakatnya pun belum paham teknik berdagang yang efektif pada wisatawan.
Setelah cukup puas main-main di bukit, kami pun diajak ke bundaran Welcome to Mandalika. Sepertinya sekarang belum afdol ke Lombok kalau nggak mampir ke kawasan sirkuit dan foto-foto di icon sirkuit ini. Nah, kalau mau berfoto-foto di sini kayaknya harus deh pakai jasa tukang foto yang mangkal di sekitar bundaran. Hasil foto-foto mereka benar-benar bagus dan cara mereka mengarahkan seperti fotografer profesional. Padahal hanya pakai handphone Android milik kita sendiri dan pakai mode panorama. Tapi kok bisa bagus yaaa…apalagi yang style mirroring (lihat foto kedua di bawah) diambildalam satu kali jepret loh dengan teknik khusus. Katanya sih mas-mas tukang foto ini diajari bule-bule yang wisata ke sini. Waah, kreatif juga yaa.
Setelah puas berfoto-foto, kami pun pulang alias check-in penginapan. Villa yang kami tempati selama di Lombok adalah Palm Merah Villas, letaknya jauuuh di Selong Belanak dan agak disayangkan sih jauh kemana-mana tapiiii villanya oke banget, konsepnya villa tropis gitu dengan private pool di tiap kamar/villa dan harganya sangat terjangkau. Rate room per malam sekitar Rp 600,000 (tanpa breakfast), kami pesan via AirBnB. Sepertinya sih bisa pesan langsung juga, silahkan cari tahu ke instagramnya @palm.merah.villas.
Di villa ini ada living room dengan Smart TV yang sudah ada Netflix dan Youtube, jadi anak nggak bosen. Ada juga kitchen yang dilengkapi kompor, kulkas, sink (plus sabun cuci piring), alat makan seperti piring sendok gelas, kopi, gula, teh, sampai dispenser yang selalu terisi jadi nggak perlu lagi beli air mineral di luar. Ohya jika ingin menginap disini, sempatkan dulu mampir ke Alfamart Kuta Mandalika, ini adalah minimarket terdekat dari villa (yang mana jaraknya jauuuh). Tapi tenang, sekitar villa ada beberapa warung kelontong kok bahkan laundry pun ada. Yang pe er sih cari makanan ya, karena ada beberapa warung makan di sekitar penginapan tapi mereka belum pakai gofood/grab food. Jadi lah kami menyetok indomie, pop mie, roti tawar dan cemilan lainnya. Sebenarnya sih hotel juga menyediakan menu makanan yang bisa dipesan tapi mihiiil.
Mungkin satu-satunya downside dari villa ini adalah: banyak nyamuk ketika malam. Mungkin karena konsepnya terbuka langsung ke rumput ya. Kebetulan sih kami sudah antisipasi dengan bawa soffel, di kamar pun disediakan semprotan nyamuk. Oh ya, ruang kamar terpisah ya, dan bisa ditutup untuk meminimalisir nyamuk. Overall asik banget sih di sini, tentu saja kami nggak menyia-nyiakan private pool yang ada dengan berenang tiap hari sampai pas pulang kulit kami pada belang hahaha.
Toilet terletak di belakang kamar dan luas banget rasanya. Yang paling menarik hatiku adalah meski konsep toilet ini bukan toilet kering, tapi lantainya cepat banget kering. Jadi niat dalam hati pingin ganti keramik kamar mandi rumah kayak gitu hehehe.
Foto dan video lengkap villa ini bisa dicek di review yang saya tulis di Google ya.





Itulah hari pertama kami di Lombok, to be continued yaa ke posting selanjutn