Jatuh Bangun Mengejar Beasiswa S2

Halo, Assalamualaikum!

Tidak terasa, 2023 semakin mendekati penghujung tahun. Dan saya masih juga bercerita tentang lika-liku mendapatkan beasiswa S2 (yang mana tekad untuk S2 sebenarnya sudah dimulai sejak 2018 seperti yang saya ceritakan disini). Tapi tidak apa, insya Allah saat ini sudah akan mendekati garis finishnya.

Kini motivasi utama saya menceritakan ini semua di blog ini (yang sudah saya tulis sejak 2011) adalah anak. Saya sering melihat pengalaman orang yang menemukan buku diary orang tuanya, dan mereka merasa terinspirasi karenanya. Saya pun berharap (moga-moga) anak saya juga demikian. Tapi karena tulisan tangan saya jelek banget, jadi ya di blog ajalah ya…

Kembali lagi ke topik. Keinginan untuk melanjutkan S2, terutama keluar negeri, itu sudah sejak lama saya impikan sejak lulus kuliah pada 2015. Tapi sadar, sebagai tulang punggung keluarga, tidak semudah itu lanjut kuliah lagi. Jadilah saya bekerja dulu beberapa tahun, bangun karier (ceilah), sempat berbisnis juga, ya intinya agar mapan secara finansial dulu sebelum S2 dan untuk mengumpulkan modal nikah juga (walau calonnya belum ada hehehe). Di tahun 2018, pertama kali saya ambil IELTS untuk kebutuhan apply beasiswa (yang juga pernah saya ceritakan disini). Qadarullah, baru saja niat apply beasiswa, ada laki-laki yang ternyata cocok, datang melamar.

Singkat cerita, 2019 menikah, tidak lama kemudian hamil. Februari 2020 melahirkan, lalu menjadi ibu baru dengan perubahan hidup yang drastis. Pandemi pun datang, mengalihkan fokus saya (dan banyak orang lainnya) lebih untuk bertahan hidup. Saya juga memutuskan perubahan karier yang cukup signifikan dari bekerja full time kantoran menjadi freelancer full time. Di pertengahan tahun itu saya dan suami pun mengambil keputusan besar: membeli rumah kami secara cash bertahap. Sehingga praktis, perhatian kami tercurah banyak untuk ‘kejar setoran’ melunasi rumah. Alhamdulillah di akhir 2020, rumah lunas.

Mimpi untuk melanjutkan S2 itu masih ada, tertahan lagi.

Pindah ke rumah kami sendiri (sebelumnya kami tinggal di rumah orang tua saya), men-setting segalanya sendiri, apalagi dengan bayi yang masih butuh perhatian penuh itu tidaklah mudah. Sehingga lagi lagi tekad itu tertunda.

Dan ada satu kendala lagi: suami belum sepenuhnya merestui untuk saya kuliah di luar negeri, karena satu dan lain hal. Tetapi untuk S2 dalam negeri, suami sangat mendukung. Tentu saja itu terasa berat untuk saya. Saya terus berusaha agar suami mau support, bahkan sampai bersikeras dan memaksa. Akhirnya suami mengizinkan dengan satu catatan: saya boleh berusaha untuk beasiswa ke luar negeri hanya sampai masa IELTS saya berakhir.

Maka, Oktober 2021, mulailah perjalanan itu. Saya mengambil tes IELTS lagi dan alhamdulillah overall score saya cukup tinggi sehingga saya cukup percaya diri dengan kemampuan saya. Perlu diketahui, mendaftar kampus luar negeri dan mendaftar beasiswa adalah dua jalur yang berbeda. Sangat lumrah jika kamu diterima kampus, tetapi tidak lolos beasiswa, atau sebaliknya (walau ini biasanya sangat jarang).

Dan hasil yang saya dapatkan sejak akhir 2021 hingga 2022…pahit. 

  • Diterima Lancaster University (UK), gagal beasiswa Chevening.
  • Diterima University of Groningen (Netherland), gagal beasiswa EBF.
  • Diterima University College Dublin (Ireland), gagal beasiswa GOI IES.
  • Diterima Uppsala University (Sweden), gagal beasiswa SISGP.
  • Diterima University of Auckland (New Zealand), gagal beasiswa ADB.

Saya manusia biasa, yang tentu saja bisa down menghadapi kegagalan demi kegagalan. 

Di saat itu juga, anak semakin butuh perhatian lebih karena sudah 2 tahun lebih masih belum bisa bicara. Setelah melalui tes di suatu klinik tumbuh kembang, anak saya sempat dicurigai psikolog memiliki ASD dan ADHD, sehingga saya memutuskan istirahat berburu beasiswa dulu, bahkan resign dari Australian Embassy, untuk fokus mendampingi anak. Alhamdulillah, setelah 2 bulan assessment, anak saya dinyatakan ‘hanya’ mengalami speech delay. Hari-hari selanjutnya pun saya menemani anak terapi speech delay di RS 2 kali seminggu. Cerita tentang speech delay saya pernah bagikan di video ini.

Sampai ketika anak saya mulai menujukkan banyak kemajuan dalam bicara, pelan pelan saya pun kembali melanjutkan perjuangan beasiswa. Karena anak saya yang masih butuh banyak belajar bahasa, saya mulai berpikir (seandainya) tinggal di luar negeri mungkin akan menghambat perkembangan bahasanya. Akhirnya dengan berat hati, saya mencoba berkompromi dengan keinginan hati saya. Saya pun mulai mencoba peruntungan beasiswa untuk kuliah dalam negeri. Jujur, saat itu pun saya sudah mulai lelah memperjuangkan S2 di luar negeri. Suami? Tentu saja happy banget.

Dan mendaftarlah saya untuk SIMAK UI Pascasarjana 2022 dengan hanya belajar kilat selama seminggu, Alhamdulillah saya lolos S2 Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI. Kisah ini saya juga bagikan dalam video youtube.

Kemudian saya mendaftar LPDP Dalam Negeri dengan masih setengah hati. Menulis esai hanya sekali duduk, minta surat rekomendasi dosen H-1 deadline, submit esai pas hari H deadline. Gak disangka, esai saya lolos dan maju langsung ke tahap wawancara tanpa melalui tes skolastik karena saya sudah mengantongi Letter of Acceptance (LoA) dari UI. Di hari H wawancara pun saya masih agak nggak niat, hanya latihan setengah jam sebelum wawancara dimulai.

Tanpa effort yang maksimal, saya diterima beasiswa LPDP Dalam Negeri. Saya bersyukur, sekaligus merasa aneh. Karena semuanya terasa terlalu mudah.

Namun tetap saja, masih ada yang mengganjal di hati. Saya cukup senang, tapi bukan ini sebenarnya impian saya.

Oke, oke, sampai sini mungkin kamu yang membaca ini emosi pengen nimpuk. Tapi coba bayangkan perasaan saya seperti Ikal di film Laskar Pelangi, atau tokoh Alif dalam novel Negeri 5 Menara. Mereka sama-sama punya mimpi menuntut ilmu di negeri orang, memperoleh pengalaman baru, perspektif baru, dan tentu saja kualitas pendidikan yang jauh lebih maju (bukan berarti pendidikan Indonesia itu buruk ya). Sama seperti mimpi saya.

Dari dinyatakan lolos LPDP pada Oktober 2022 sampai masuk kuliah, ada jarak sekitar satu tahun karena saya mengajukan defer atau tunda kuliah (prodi Ilmu Manajemen hanya membuka intake kuliah di September).

Dengan sisa tenaga yang ada, saya mencoba (LAGI) beasiswa ke luar negeri, kali ini mendaftar beasiswa Australia Awards Scholarship (AAS) dari pemerintah Australia. Sungguh hati saya benar-benar nothing to lose ketika mendaftar, nggak berharap, hanya meniatkan ini jadi ikhtiar terakhir saya untuk S2 di luar negeri. One last shot.

Hingga akhirnya bulan Juni 2023, datanglah email dari Beasiswa AAS….

Gak nyangka banget! Rasanya badan seperti melayang dan langsung nangis bahagia. Baru kali ini ada beasiswa S2 keluar negeri yang mengundang saya ke tahap akhir. Dari 5000an pelamar se-Indonesia, hanya 371 orang yang masuk shortlisted dan itu termasuk esai saya. Tidak sampai 10%. 

Saya langsung mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh, berhari hari belajar untuk IELTS lagi, dan tentu saja latihan wawancara full English. Setiap malam sulit tidur karena deg-degan menanti hari H wawancara.
Hingga tibalah hari H wawancara….saya terhempas lagi. Saya nggak menduga, pengalaman wawancara AAS se-nggak enak itu. Jauh dari yang saya harapkan. Berkali-kali saya menghadapi pertanyaan yang sulit, challenging, dan agak intimidatif, tidak seperti saat saya wawancara LPDP yang lebih friendly, mudah dan pengertian. Tapi saya ngga bisa menyalahkan siapapun, karena ini sifatnya case by case, faktor luck sangat bermain. Semua jelas sudah diatur Allah. Mungkin nanti saya akan tulis posting terpisah detil pengalaman beasiswa LPDP dan AAS ini.

Pulang wawancara, saya menangis hingga 2 hari. Saya benar-benar kecewa pada diri sendiri karena masih tidak maksimal, meski saya sudah mati-matian berusaha. Berkali kali saya merutuki diri, merasa bodoh, marah pada apapun.

Ada jeda sekitar 3 minggu dari wawancara ke pengumuman AAS gelombang pertama pada 11 Agustus 2023. Dalam kurun waktu tersebut, saya berusaha menenangkan diri, mengencangkan doa, dan tentu saja mempersiapkan hati untuk menerima kemungkinan terburuk. Saya mendengarkan berbagai ceramah di Youtube tentang tawakal, ikhlas, sabar dalam merespon takdir, dsb. Tapi tetap saja, tidak mudah karena ini seperti sudah selangkah lagi.

Di tengah kegalauan itu, saya pun menjalani kegiatan pendalaman materi atau matrikulasi di FEB UI pada 1 Agustus. Beberapa kali matrikulasi, saya mulai merasa enjoy dan semangat lagi untuk belajar. Anehnya, saya mulai merasa kuliah S2 di UI pun rasanya nggak terlalu buruk (Sar, jitak nih!). Saya mulai punya teman-teman baru, dosennya juga oke-oke, dan materi kuliahnya pun alhamdulillah benar-benar sesuai dengan yang saya mau. Ketika teman-teman di kelas tahu saya adalah awardee LPDP, mereka merasa amazed, karena ada beberapa yang sudah mencoba LPDP Dalam Negeri dan tidak lolos, bahkan mencoba lebih dari sekali. Dari sekitar 100 mahasiswa satu angkatan prodi Magister Ilmu Manajemen (beda ya dari MM atau Magister Manajemen-bagaimana beda nya bisa dicek di video saya tentang SIMAK UI), mungkin bisa dihitung jari yang merupakan awardee LPDP. Sebagian besar dengan biaya pribadi, yang mana itu mahaaaal >,<

Another reason for being grateful, kan Sar?

Akhirnya AAS diumumkan pertama kali pada 11 Agustus, banyak teman-teman sesama shortlisted (kebetulan kami ada grup WA unofficial) yang sudah menerima email dinyatakan lolos pada Jumat malam. Saya pun sudah pasrah (dan nangis lagi) karena di grup beredar kabar bahwa di tahun tahun sebelumnya sistemnya selalu yang lolos diumumkan duluan, yang tidak lolos belakangan. Besoknya di hari Sabtu siang tanggal 12, keluarlah pengumuman bagi teman-teman yang tidak lolos. Salah satu kenalan saya yang kasusnya sama (jadi shortlisted AAS dan diterima LPDP di UI) bernama Devi mengabari ia tidak lolos. Saya pikir saya akan segera dapat email tidak lolos di hari itu juga….eh rupanya engga. Masih sekitar 20 orang di grup yang belum dapat email apapun (itu juga cuma yang di grup ya, yang tidak masuk grup tidak diketahui kabarnya).

Seminggu kemudian di hari yang sama, tanggal 18 Agustus, muncul lagi kabar bahwa beberapa orang yang belum dapat email akhirnya mendapat kabar dan….lolos! Fixed sih, ini kita-kita yang belum dapat email dijadikan reserved candidate atau kandidat cadangan, menggantikan orang-orang yang lolos tapi mengundurkan diri. Daaan….sampai tulisan ini saya buat di Kamis pagi tanggal 24 Agustus, saya belum dapat email apapun. Mungkinkah besok di hari Jumat lagi? Entahlah.

Tapi yang jelas, perasaan saya jadi gamang sekarang. Selama matrikulasi, saya kok mulai merasa nyaman kuliah (lagi) di UI…mungkin karena ketika berkuliah disini semua serba mudah, sudah familiar dengan kampusnya (saya S1 di FIB UI), saya nggak perlu ngekos, ada ART yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah dan jaga anak, saya bisa sambil kerja freelance, suami antusias dengan kuliah saya, atau….mungkin karena sudah terlalu lama juga menanti momen kuliah S2. Jikalau diterima AAS, masih harus melalui pre-departure training selama 6 minggu di Bali dan baru benar-benar kuliah di Februari 2024. Itu pun tidak bisa langsung membawa keluarga.

Ahh,…apa Allah membolak-balik hati saya? Saya ingat frasa di akhir doa yang sering saya panjatkan sebelum tanggal 11 Agustus: “Jika Engkau menakdirkan bukan rezeki hamba di AAS, jadikanlah hamba ridha dan bahagia dengan pilihanMu untuk hamba kuliah di UI”.

Apa ini jawaban doa-doa saya? Mendekati garis finish, harapan saya malah menjadi 50:50 untuk kemungkinan lolos AAS. Hehehe.

“…Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Di tengah kegundahan saya, suami saya bilang:

“Kamu jangan lihat ke atas terus, lihat orang di Instagram ramai kuliah di luar negeri, bisa traveling ke berbagai negara. Coba kamu lihat sekitar kamu, nggak usah jauh-jauh, di komplek perumahan kita aja mungkin kamu salah satu dari sedikit Ibu yang punya karier bagus, bisa S2 pula. Atau di keluarga kita aja deh, cuma kita yang bisa kuliah, bahkan kamu bisa lebih dari sekedar kuliah. Kan kamu sering tuh cerita prihatin banyak ibu-ibu lain nggak bisa kejar mimpi mereka. Ada banyak orang lain yang menginginkan apa yang kamu punya: suami, anak, rumah, karier, kesempatan S2. Nggak perlu validasi orang lain untuk pembuktian diri kamu. Aku sama Ghuma pun udah bangga dengan kamu sekarang”

Anakku, ketika kamu membaca ini, Momom/Bunda (monmaap ini panggilannya masih belum konsisten hehe), ingin kamu tahu satu hal: konsepnya dalam berjuang bukanlah ikhtiar tidak akan mengkhianati hasil. Bukan begitu. Ada kekuatan lebih besar di luar kendali kita yang menentukan hasil, yaitu Allah SWT. Agar kita berusaha sebaik-baiknya dan berserah dengan seikhlas-ikhlasnya. Semoga kamu melihat tulisan ini dapat memahami, bahwa Momom sudah berusaha semaksimal mungkin yang Momom bisa, tetapi Allah jualah yang menentukan. Dan Momom harap kamu pun bisa begitu, tidak harus sama persis untuk S2, tetapi untuk mengejar cita-citamu.

“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS At-Taubah Ayat 105)

Saya akan update lagi disini bagaimana hasil AAS nanti.

2 thoughts on “Jatuh Bangun Mengejar Beasiswa S2

  1. Masyaallah, barakallahu fiik mbaa utk pencapaiannya dan impian2nya yg mulai jd kenyataan 🙂
    Salam kenal, aku Nisa. Alhamdulillah, jd awardee LPDP DN juga walaupun blm mulai kuliah. Kebalikan sama mbak, aku dari S1 LN S2 DN insyaallah..
    Jadi penasaran sama lanjutannya, hihi. Semoga dapat yg terbaik dan lebih mendekatkan ke ridho Allah yaa mbak.

    Btw, anak kita sepantaran, 2020 😀

    1. Hehehe aku pun penasaran Mbak endingnya gimana, tapi sudah ikhlas saja. Mungkin skenarionya begini biar nggak terlalu ngarep sama dunia 🙂
      Wah toss dulu angkatan pandemi yaa

Leave a comment